KATA PENGANTAR
Setelah melewati sekitar 15 tahun proses penerjemahan, akhirnya karena kasih Tuhan Yesus, Alkitab Janji Baru dalam bahasa Melayu Ambon ini ada di tangan saudara-saudari dan siap digunakan dalam berbagai kegiatan pelayanan. Terjemahan Alkitab ini telah melalui suatu proses secara resmi dan terperinci, termasuk pemeriksaan yang cermat dari konsultan luar. Beberapa orang awam serta tim pendeta (Tim Sinode) juga terlibat secara aktif dalam pemeriksaan terjemahan ini, selain tim penerjemah sendiri yang telah terlatih dalam prinsip-prinsip penerjemahan dan eksegesis (tafsiran), dibantu oleh ahli teologi, ahli linguistik, dan ahli antropologi.
Mengapa Kita Perlu Firman Tuhan Dalam Bahasa Melayu Ambon? Suatu Penjelasan Ilmiah
Bahasa Melayu Ambon adalah sebuah bahasa tersendiri dan patut digunakan dalam pelayanan gereja. Alasan atas pernyataan ini tampak jelas dari berbagai segi, antara lain:
Sejarah Bahasa dan Sosiolinguistik
Struktur Bahasa (Ilmu Bahasa)
Pandangan Alkitabiah dan Sejarah Gereja
Ilmu Komunikasi dan Ilmu Penerjemahan
Pandangan dari Segi Sejarah Bahasa dan Sosiolinguistik
Secara ilmiah, bahasa Melayu Ambon yang kita pergunakan dewasa ini berkembang dari suatu ragam bahasa Melayu. Tata bahasa dan kosakatanya mengalami suatu proses perkembangan bahasa tersendiri dan berlangsung selama ratusan tahun. Ini artinya bahwa bahasa Melayu Ambon bukan merupakan suatu dialek atau logat dari bahasa Indonesia. Terlebih lagi, bahasa ini bukanlah bahasa Indonesia yang ‘rusak’ atau semacam ‘slang’ atau ‘bahasa pasar’.
Bahasa Indonesia sebagai bahasa yang resmi baru ditetapkan pada abad ke-20 sebagai bahasa kesatuan bangsa. Bahasa Indonesia didasarkan pada suatu ragam Melayu yang digunakan oleh penutur asli dalam bidang pemerintahan dan sastra di sekitar keraton-keraton Riau dan Johor pada abad-abad lalu.a Bahasa Melayu Ambon juga didasarkan pada bahasa Melayu, tetapi ragam Melayu dengan pola penggunaan yang berbeda.b Dari penuturan seorang sarjana Belanda, dengan jelas dapat diketahui bahwa orang-orang di pulau Ambon dan Lease sudah menggunakan sejenis ragam Melayu yang jauh berbeda dari Melayu yang digunakan di bagian barat Nusantara.c Ragam Melayu yang berkembang sebagai bahasa perdagangan dan bahasa antar suku di Ambon dan sekitarnya didatangkan beberapa abad lalu dari bagian barat Nusantara oleh para pedagang. Sebagian besar pelayar dan pedagang yang beroperasi di bagian timur Nusantara bukanlah penutur asli bahasa Melayu, melainkan bahasa-bahasa lain seperti bahasa Jawa dan bahasa Makasar.d Mereka menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa kedua. Jadi, bahasa Indonesia dan bahasa Melayu Ambon didasarkan pada dua ragam Melayu yang berbeda. Bahkan, bahasa Melayu Ambon boleh dikatakan lebih tua sebagai bahasa yang berfungsi dalam masyarakat Ambon, dibandingkan dengan bahasa Indonesia.
Pada waktu bahasa Melayu masuk ke wilayah Ambon dan sekitarnya, penduduk setempat yang mulai menggunakan bahasa tersebut bukanlah penutur asli dan tidak menggunakan bahasa Melayu secara sempurna dalam segala bidang. Pada waktu itu, berbagai proses perubahan bahasa, yang oleh beberapa ahli bahasa disebut sebagai kreolisasi, mulai mengubah bahasa Melayu yang digunakan di Ambon dan sekitarnya. Proses-proses perubahan bahasa seperti itu umumnya terjadi di berbagai tempat di dunia, ketika suatu bahasa dari luar mulai digunakan secara luas sebagai bahasa perdagangan dan bahasa antar suku dalam suatu masyarakat yang beranekaragam bahasa lokalnya.e Perubahan-perubahan itu mencakup sistem morfologi (seperti awalan dan akhiran) atau proses pembentukan kata disederhanakan (misalnya: awalan meng-, di- dan akhiran -kan tidak lagi digunakan, dan penggunaan kata kasi, biking, dan dapa diperluas; contohnya: memulangkan--> kasi pulang; memanaskan--> kasi panas, biking panas; dipukul--> dapa pukul).
Perubahan berikutnya adalah penyesuaian struktur dan pola makna supaya mirip dengan struktur dan pola pemikiran bahasa-bahasa lokal. Misalnya, dalam bahasa Melayu Ambon berkembang sistem penunjuk arah lau, ‘arah laut’, dan dara, ‘arah darat’, seperti dalam perkataan ka lau, ‘ke arah laut’, dan ka dara, ‘ke arah darat’.f Pola bahasa demikian tidak terdapat dalam bahasa Melayu baku atau bahasa Indonesia karena mengikuti pola yang ada dalam bahasa-bahasa setempat di Ambon dan sekitarnya. Struktur kepemilikan dengan kata pung (beta pung bapa) juga mungkin berkembang mengikuti pola bahasa daerah setempat.g Secara semantis (dari segi makna), pola kata yang mencerminkan makna juga disesuaikan untuk mengikuti pola bahasa daerah (misalnya: bahasa Indonesia keras kepala, bandel--> bahasa Melayu Ambon kapala batu; kata-kata tetap dari bahasa Melayu, tetapi diucapkan dengan cara yang mirip bahasa-bahasa daerah).
Perubahan lain lagi adalah penyerapan kata-kata pinjaman dari bahasa-bahasa daerah dan bahasa-bahasa lain (misalnya, Portugis dan Belanda) dan digunakan secara umum oleh seluruh masyarakat yang memakai bahasa Melayu Ambon (misalnya: ale, ose, ahalang, antero, oras, konyadu, mar, stamplas, dsb.).
Hasil perubahan bahasa ini membentuk bahasa Melayu Ambon dan mulai digunakan sebagai bahasa ibu atau bahasa pertama oleh anak-anak di Ambon yang lahir kemudian. Sekarang ada orang yang lebih memahami bahasa Melayu Ambon daripada bahasa daerah lain, bahkan bahasa Indonesia baku. Identitas batin dan pola pikiran mereka terkait secara erat dengan bahasa Melayu Ambon.
Masalahnya, karena baik bahasa Indonesia maupun bahasa Melayu Ambon didasarkan pada bahasa Melayu, maka penutur bahasa Melayu Ambon dengan mudah dapat beralih dari bahasa Melayu Ambon ke bahasa Indonesia, atau sebaliknya dari bahasa Indonesia ke bahasa Melayu Ambon, dan tidak selalu jelas bahasa mana yang mereka gunakan. Misalnya, dalam sebuah rapat seorang guru bisa membuka rapat dengan menggunakan bahasa Indonesia baku, namum memberi penjelasan mengenai pengurusan minuman kepada petugas dengan menggunakan bahasa Melayu Ambon. Kedua bahasa ini dapat dicampuradukan. Keadaan pemakaian bahasa seperti ini sangat umum dijumpai dalam masyarakat yang memakai bahasa yang mengalami perubahan seperti bahasa Melayu Ambon ini.h
Pandangan dari Segi Struktur Bahasa (Ilmu Bahasa)
Masing-masing bahasa mempunyai ciri khas dalam struktur, sejarah, dan pola penggunaan. Status bahasa Melayu Ambon sebagai bahasa tersendiri dapat dibuktikan dari berbagai segi, antara lain: sistem bunyi (fonologi), tata bahasa, pola wacana, dan pola bahasa yang digunakan dalam masyarakat. Secara singkat, berikut beberapa contoh:
Sistem bunyi (vokal) | |
Bahasa Indonesia | Bahasa Melayu Ambon |
a, i, o, u dan dua macam e, yaitu: | a, i, o, u dan satu macam e, yaitu: |
é (énak, béda), [e teleng] | dékat, déngar [e teleng] saja |
è (bèsar, sèbab) [e pepet] |
Kata-kata bahasa Melayu Ambon yang seasal dengan kata-kata bahasa Indonesia yang mengandung bunyi e pepet (è) bisa diucapkan dengan salah satu dari kelima vokal yang ada dalam bahasa Ambon. Misalnya:
Bahasa Indonesia | Bahasa Melayu Ambon |
bèsar | basar |
pègang | pégang |
bènci | binci |
tèbu | tobu |
jèmur | jumur |
Urutan kata dalam frasa juga memiliki perbedaan. Misalnya, dalam frasa yang menyatakan kepunyaan dan yang menggunakan kata tunjuk:
Bahasa Indonesia | Bahasa Melayu Ambon |
rumahnya | dia pung ruma |
anak temannya | dia pung tamang pung ana |
anak itu | itu ana, ana itu |
Mengenai sistem kata kerja dan pembentukan kata benda dari kata kerja, bahasa Indonesia sangat kaya dengan awalan dan akhiran (misalnya, ber-, meng-, di-, memper-, ter-, -kan, -an, peng-, per- -an, ke- -an). Imbuhan dalam bahasa Melayu Ambon hanya sedikit dan sebagian besar seasal dengan imbuhan yang ada dalam bahasa Indonesia. Walaupun demikian, fungsi imbuhan dalam keduanya tidak persis sama. Sebagai contoh, fungsi awalan ba- dan ta- dalam bahasa Ambon tidak benar-benar sama dengan ber- dan ter- dalam bahasa Indonesia. Bahasa Melayu Ambon juga bisa menggabungkan awalan-awalan yang tidak dapat digabung dalam bahasa Indonesia. Misalnya, pam-ba (loko --> baloko --> pambaloko). Awalan meng- seperti dalam Bahasa Indonesia sudah menjadi satu bagian dengan akar kata dalam bahasa Ambon (misalnya, manyasal, manyangkal, mangaku). Salah satu fungsi dari akhiran bahasa Indonesia -kan dibentuk dengan memakai kata kasi (misalnya, jatu --> kasi jatu ‘menjatuhkan’).
Bahasa Melayu Ambon juga mempunyai kata-kata penghubung yang berbeda dari bahasa Indonesia, misalnya:
Bahasa Indonesia | Bahasa Melayu Ambon |
namun, tetapi | mar |
supaya, lalu | biar, la |
karena, sebab | tagal, barang |
dan, dengan | deng |
Dalam bahasa Melayu Ambon pun ada banyak kata kecil yang biasanya dipakai pada akhir kalimat atau akhir ucapan untuk menyatakan sikap atau perasaan pembicara. Misalnya, ka, kapa, to, yo, no, e. Namum dalam bahasa Indonesia kata-kata yang demikian sangat minim.
Jadi secara ilmiah tampak bahwa bahasa Melayu Ambon mempunyai pola tata bahasa tersendiri yang berbeda dari tata bahasa Indonesia. Intinya, secara keseluruhan ada pola dan sistem dalam bahasa Melayu Ambon yang secara ilmiah patut diteliti dan dihargai sebagai sebuah bahasa. Pandangan bahwa bahasa Melayu Ambon merupakan dialek bahasa Indonesia yang rusak tidaklah benar berdasarkan ilmu bahasa dan sejarah masyarakat penuturnya.
Pandangan dari Segi Alkitabiah dan Sejarah Gereja
Sebagian besar dari naskah asli Perjanjian Baru ditulis pertama-tama dalam bahasa Yunani pasar, yaitu bahasa Yunani Koine (bahasa Yunani sehari-hari). Bahasa Yunani tersebut ditulis dengan huruf Yunani yang bentuknya seperti contoh dari Kisah Para Rasul 4:12 di bawah ini:
Greek text
Perjanjian Baru yang ditulis dalam bahasa Yunani Koine tersebut, kemudian diterjemahkan ke dalam banyak bahasa di dunia, seperti bahasa Jerman, Inggris, Belanda, Indonesia, Batak, Jawa, serta ratusan bahasa nasional dan bahasa daerah lainnya. Penerjemahan Alkitab Janji Baru ke dalam bahasa Melayu Ambon ini lebih didasarkan pada bahasa Yunani Koine, bukan didasarkan pada terjemahan bahasa Indonesia.
Bahasa Yunani yang digunakan untuk menulis Alkitab Perjanjian Baru adalah bahasa sehari-hari dan bukan bahasa tinggi, bahasa sastra, ataupun bahasa klasik pada zaman itu. Salah satu alasan mengapa bahasa Yunani sehari-hari yang digunakan adalah agar orang percaya dapat lebih mudah memahami pesan Tuhan. Rasul Paulus menegaskan bahwa, “Sebab kami hanya menuliskan kepadakamu apa yang dapat kamu baca dan pahamkan.” (2Kor 1:13, TB). Dengan jelas, Paulus mengingatkan jemaat akan pentingnya komunikasi yang jelas: “Jika kamu tidak mempergunakan kata-kata yang jelas, bagaimanakah orang dapat mengerti apa yang kamu katakan? Kata-katamu sia-sia saja kamu ucapkan di udara!” (1Kor 14:9b, TB).
Sejak dahulu kala, pengertian akan Firman Allah merupakan dasar bagi pembentukan iman gereja Kristus. Itulah sebabnya, penerjemahan Alkitab selalu berjalan mendahului atau mengikuti perkembangan gereja yang kuat dan bertahan. Karena itu, gereja harus berusaha agar seluruh umat Kristus dapat memiliki dan memahami Alkitab untuk diri sendiri dalam bahasa yang mudah dimengerti oleh mereka, tidak hanya dalam bahasa nasional saja. Orang Maluku layak memiliki Firman Allah dalam bahasa mereka sendiri.
Pandangan dari Segi Ilmu Komunikasi dan Ilmu Penerjemahan
Ilmu komunikasi mengingatkan kita bahwa pesan yang ingin disampaikan perlu disusun dalam bahasa dan bentuk yang dapat dimengerti oleh para pendengar atau pembaca. Kosakata, susunan kalimat, atau bahasa kiasan yang tidak diketahui atau yang dianggap asing menjadi penghalang dalam suatu komunikasi. Persoalannya, pada saat suatu pesan disusun, penulis atau penyusun cenderung lebih memperhatikan hal-hal yang masuk akal daripada memperhatikan sifat-sifat para pendengar dan para pembaca. Karena itulah, perhatian kepada ciri-ciri pendengar atau pembaca harus menjadi prioritas bagi penyusun pesan agar pesan yang ingin disampaikan dapat diterima secara maksimal.
Ilmu penerjemahan mengemukakan tiga tujuan dasar untuk menghasilkan terjemahan yang baik:i
Mempertahankan makna dari teks sumber (yaitu dari Perjanjian Baru bahasa Yunani).
Berkomunikasi secara jelas atau mudah dimengerti dalam bahasa sasaran (dalam hal ini bahasa Melayu Ambon).
Menyusun bahan terjemahan dalam bahasa sasaran (dalam hal ini bahasa Melayu Ambon) yang wajar, sama seperti seseorang berbicara kepada sahabatnya.
Karena itu dalam penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa Melayu Ambon, kata-kata yang lebih tua seperti kampinjang, hotu, tinala, kamese, dll, cenderung tidak digunakan oleh Tim Penerjemah. Kata-kata tersebut merupakan warisan budaya dan perlu dipelajari, namun karena tujuan penerjemahan Alkitab adalah agar Firman Allah dapat dimengerti oleh setiap orang, maka Tim Penerjemah lebih memilih untuk menggunakan kata-kata yang dapat dipahami secara luas.
Terjemahan Alkitab Janji Baru dalam bahasa Melayu Ambon ini mengikuti prinsip-prinsip yang diakui oleh lembaga-lembaga penerjemahan Alkitab baik di dalam negri maupun luar negri. Terjemahan ini mengikuti dan mempertahankan makna dari naskah Yunani asli.
Beberapa Catatan Lain Mengenai Cara Penggunaan Buku ini
Di bawah ini terdapat beberapa catatan untuk membantu pembaca menggunakan buku ini.
1. Ejaan (Cara Menulis) Bahasa Melayu Ambon
Ada beberapa perbedaan sistem bunyi (fonologi) bahasa Melayu Ambon dan bahasa Indonesia yang memaksa kita menyesuaikan sistem ejaan atau penulisan. Dalam bahasa Melayu Ambon ada banyak variasi pengucapan kata. Sebagian orang yang tinggal di daerah kota bisa memiliki perbedaan pendapat dengan orang yang misalnya berasal dari desa Soya atau Latuhalat atau daerah lain di Maluku mengenai bentuk mana yang dianggap sebagai bahasa Melayu Ambon yang sebenarnya. Contohnya:
gunung gunong | kayu kayo |
kambali kombali kumbali | labe lebe |
sakarang skarang | nai nae |
pakiang pakeang | pukul pukol |
antua ontua angtua ongtua | ambe ambel |
kamaring kamareng kalamaring kalamareng | noul neu |
Dari pandangan ilmu bahasa, semua variasi ucapan seperti di atas dapat diterima sebagai bahasa Melayu Ambon. Namun masalahnya, di dalam penulisan terjemahan Alkitab Janji Baru ini, Tim Penerjemah harus memilih satu bentuk saja yang digunakan secara tetap dan seragam. Pada umumnya, Tim Penerjemah memilih bentuk yang digunakan oleh mayoritas orang di pulau Ambon dan Lease, dengan target pendengar berumur sekitar 18-40 tahun. Namun demikian perlu diingatkan bahwa pilihan ini tidak berarti bahwa variasi ucapan lainnya bukan merupakan bahasa Melayu Ambon atau merupakan ucapan yang salah. Ketika orang membaca, mereka bisa memakai ucapan-ucapan yang mana saja, walaupun bentuk yang digunakan untuk menulis hanya satu.
2. Tekanan Kata
Ada beberapa kata dalam bahasa Melayu Ambon yang sama penulisannya namun memiliki arti yang berbeda, berdasarkan tekanan kata. Untuk membantu pembaca mengenalinya, maka dibubuhkan tanda tekanan pada kata tertentu, yaitu tanda aksen (diakritik) di atas huruf hidup. Dalam Alkitab bahasa Melayu Ambon, tanda tersebut dibubuhkan pada suku kata kedua pada dua kata berikut:
pasáng - berarti ‘pesan’
barát - berarti ‘berat’
3. Tanda Kurung Lengkung ( ) dan Tanda Kurung Siku [ ]
Tanda kurung lengkung ( ) digunakan untuk informasi yang memang terdapat dalam naskah asli bahasa Yunani, untuk menjelaskan informasi latar belakang atau komentar penulis kepada para pembaca. Misalnya, pada kitabMatius 24:15, Lukas 9:33, Yohanis 1:41, 4:9, 19:35, Utusang pung Carita 17:21, dan Yohanis Dapa Tanda 19:8.
Tanda kurung siku [ ] digunakan untuk informasi, kalimat atau ayat yang tidak terdapat dalam naskah asli bahasa Yunani yang tertua dan yang terbaik (misalnya dalam naskah-naskah yang dikenal sebagai codex Sinaiticus, codex Alexandrinus, atau codex Vaticanus). Misalnya, jika suatu ayat muncul secara tertulis hanya sesudah abad ke-10, ayat itu dianggap bersifat “tambahan” yang tidak terdapat dalam naskah asli bahasa Yunani. Misalnya, pada kitab Matius 17:21, Markus 9:44, 46, 11:26, 14:68, 15:28, Yohanis 7:53—8:11, Utusang pung Carita 8:37, 15:34, 24:6-8a, 28:29. Tanda ini biasanya digunakan dalam banyak terjemahan Alkitab lainnya.
4. Catatan Kaki
Catatan kaki digunakan dalam Alkitab bahasa Melayu Ambon untuk memberikan beberapa jenis keterangan, antara lain:
a. Menjelaskan kata-kata bahasa Yunani yang digunakan secara harfiah. Misalnya pada kitab Matius 3:3, 1 Korintus 1:12, atau 2 Korintus 6:11.
b. Menjelaskan adat-istiadat atau budaya Yahudi atau Yunani bagi pembaca bahasa Melayu Ambon yang tidak mengetahuinya. Misalnya, pada kitab Lukas 23:43, Yohanis 19:14, 20:19, atau Utusang pung Carita 28:11.
c. Menjelaskan mengenai tafsiran lain yang secara umum juga diterima tetapi tidak dipakai dalam terjemahan. Misanya pada kitab Yohanis 17:15, 1 Yohanis 5:21.
d. Menjelaskan informasi lain yang dapat membantu pembaca lebih mengerti terjemahan. Misalnya, kitab Yohanis 12:3 atau Yohanis Dapa Tanda 3:15.
Catatan kaki juga dipakai sebagai referensi (acuan) silang yang memberi nomor ayat dan keterangan yang berhubungan dengan suatu ayat dalam Alkitab Janji Baru dalam bahasa Melayu Ambon. Catatan kaki juga merujuk pada ayat kutipan dari Perjanjian Lama yang digunakan di Perjanjian Baru. Misalnya, kutipan dalam Markus 1:2-3 bersumber dari Yesaya 40:3.
Catatan kaki ditandai dengan huruf kecil di belakang kata, frasa, atau kalimat yang menjadi rujukannya, dan ditulis lebih tinggi dari teks. Contohnya seperti ini:j. Isi dari catatan kaki terdapat di bagian halaman paling bawah, dipisahkan dengan suatu garis dan huruf-huruf teksnya lebih kecil. Jika terdapat huruf kecil yang ditulis seperti itu, maka carilah huruf tersebut di bagian paling bawah dari halaman itu untuk membaca isinya.
Selain ayat bandingan di dalam catatan kaki, ada juga ayat sejajar yang terdapat di bawah judul perikop. Kedua cara ini disediakan untuk membantu para pembaca mempelajari Alkitab, serta memperkuat pengetahuan umum mengenai hubungan antara kitab-kitab di dalam Alkitab itu sendiri.
Akhir kata, selamat membaca Alkitab dalam bahasa Melayu Ambon. Kunci untuk membaca bahasa Melayu Ambon adalah dengan memakai logat bahasa Melayu Ambon. Kami berdoa, agar saudara-saudari akan semakin berakar dan bertumbuh dalam iman kepada Tuhan kita Yesus Kristus, lewat pembacaan dan perenungan Alkitab dalam bahasa Melayu Ambon ini. Tuhan Yesus memberkati saudara-saudari sekalian.
Tim Penerjemah Melayu Ambon